Jumat, 12 Februari 2010

Kemiskinan di Mataku

Sejak lahirku,

Tangan kasar ibuku menjadi sentuhan pertamaku

Suara letih ayahku menjadi pendengaran pertamaku

Sampah yang menggunung menjadi pemandangan pertamaku

Lapak kayu sempit & berlumut menjadi penaung pertamaku

Tanah berbeling & berlumpur menjadi tempat pijakan pertamaku

Beras akas menjadi makanan pertamaku

Botol bekas menjadi mainan pertamaku

Kucing liar menjadi sahabat pertamaku

Hingar bingar jalanan menjadi ruang lingkup pertamaku

Hingga dewasaku ini, pertamaku telah menjadi seluruh isi hidupku,

Akankah ini selalu jadi duniaku ??

Mereka bilang kasih..

Tapi mereka tidak menyadari kehadiranku di ramainya jalanan

Mereka bilang kasih..

Tapi mereka tidak sudi memandang & menyapaku sejenak diantara peluhku

Mereka bilang kasih..

Tapi mereka enggan menyentuhku dan merengkuhku ketika ku merasa sepi

Mereka bilang kasih..

Tapi mereka tak mendengarku ketika ku merintih menahan lapar & pedih

Mereka bilang kasih..

Tapi mereka tidur pulas ketika ku tidur di tanah aspal beratap langit

Mereka bilang kasih..

Tapi mereka tidak menguatkanku ketika ku menangisi keadaanku

Mereka bilang kasih..

Tapi tidak punya waktu untuk menjadi temanku dalam segala kekuranganku

Dan untuk ada bersamaku

Yang kutahu kasih akan bertindak

Bukan diam tak bergerak

Mereka anggap manusiakah aku ??

Tuhan, jelaskan padaku…

Jangan menutup hidungmu ketika ku lewat,

Aku hanya bisa mengumpulkan sampah layak pakai, lalu kujual tuk makanku hari ini

Jangan menutup kupingmu,

Aku mengamen dengan suara sumbangku, agar perut adik-adikku bisa terisi

Jangan memalingkan wajahmu

Aku hanya bisa duduk meminta di trotoar karena kondisiku tidak mendatangkan pilihan

Jangan curigai aku

Aku hanya memandangi pakaian yang kau pakai, makanan yang kau makan, untuk kuimpikan

Jangan mendelik padaku

Aku belum mengenal sopan santun, karena tidak ada yang mengajariku.

Jangan menghinaku ‘bodoh’

Aku memang tidak berpendidikan, aku tidak bisa bersekolah sepertimu. Tak ada yang membagiku pengetahuan

Jangan menghakimiku ‘menjual belas kasihan’

Aku, saudara-saudaraku dan teman-temanku tidak punya kesempatan apapun tuk menjadi selain ini

Jangan menjauhi aku

Aku kotor, karena aku tidak meperdulikan tubuhku, hariku untuk mencari receh

Jangan menganggap aku adalah ‘gangguan’

Aku hanya bisa berkeliaran untuk melupakan beban hidupku, tak ada yang punya waktu tuk berbagi sukacita denganku

Jangan memojokkanku

Aku hanya bisa menangis marah ketika tramtib menggusur lapak sempit tempatku bernaung. Tak ada yang menolongku

Jangan mengejekku

Aku seringkali melanggar aturan karena aku tidak bisa memikirkan cara lain tuk mengejar hidup hari ini.

Jangan… Jangan.

Karena..

Kau dan aku adalah ‘rancangan’ dari pencipta yang sama

Kau dan aku menghirup udara yang sama di bumi yang sama

Yang membedakan kau dan aku hanyalah: Tak ada kesempatan untukku.

Beras mahal, minyak tak terjangkau.

Ayah berteriak marah

Ibu menangis pasrah

Aku menengadah:

“ Makan apa kami hari ini ?”

Biaya sekolah naik, buku kian mahal.

Bu guru menyesal terduduk

Ayah diam tertunduk

Aku menangis terpuruk:

“Sekolahku berhenti sampai disini”

Sesuap nasi makin brutal diperebutkan.

Ayah makin berpeluh

Aku coba tuk berteguh

Adik mendesis mengaduh:

“Kapan kita bisa punya mobil mewah seperti mereka ?”

Kriminalitas subur berkembang, mendominasi.

Tetanggaku dituduh mencuri

Sahabatku berlari dari polisi

Aku terpekur berdiri:

“Haruskah kuakhiri hidup ini ?”

Terjepit, ku terhimpit….

Sudikah kau kubagi ini sakit ?

Dengan kesulitan ku dijambak..

Kapankah kau akan bertindak ??

Anak itu mencari sesendok nasi, dipanas terik berpeluh

Mengapa ia begitu tekun & teguh ?

Sedang Aku banyak mengeluh

Anak itu bermain diantara tumpukan sampah, berbatunya tanah

Tapi mengapa ia tertawa meriah ?

Sedang Aku tiada berhenti bersesah

Anak itu makan nasi dan garam

Tapi ia masih bersyukur begitu dalam

Sedang Aku sibuk menyusun dendam

Anak itu tidak bisa membaca, sekolah hanya dalam mimpinya

Tapi mengapa ia tetap merasa bahagia ?

Sedang Aku enak-enakkan saja

Anak itu berdoa pada Tuhan

Aku hidup hanya berpusat pada beban

Kusadari…

Anak itu menjalani hidup dengan tulus hati

Sedang aku mengeluh tanpa henti

Aku miskin hati

Anak itu berjuang melawan pedih

Sedang aku tak bertindak, sibuk berdalih

Aku miskin kasih

0 komentar:

Posting Komentar