Kamis, 03 Desember 2009

Cerpen

Dan tentunya pagi nanti dia bangun dengan waktu yang panjang untukku

Di balik sebuah kesabaran, terdapat berjuta hikmah. Amanah ini yangingin disampaikan penulis kepada para pembaca. Dengan kesabaran danberfikiran positif, kehidupan yang kita jalani akan terasa lebihmenyenangkan.—KLIIIPP! Komputer mati lagi. Suamiku jadi sedikit uring-uringan karenapekerjaannya masih banyak yang harus diselesaikan. “Sering ngesave”,kataku suatu saat. Waktu itu ia sedikit terlihat tak tenang, karena duabelas lembar pekerjaannya belum ia simpan dan komputer mati dengansendirinya tanpa permisi lagi, mungkin karena komputer itu terlalusering digunakan bahkan hingga tak pernah dibiarkan mati sampai satuhari satu malam. Suamiku kembali terlihat tak tenang pada saat membukafile pekerjaannya tak ada satu kata pun. Tapi kembali air mukanyamenjadi datar, seperti ingin cepet-cepet menyembunyikan itu dariku.Masalah komputer mungkin hanya masalah biasa, seperti juga suamiku yangterbiasa dimarahi atasan karena pekerjaan yang harusnya selesai pagihari baru separuh ia kerjakan. Anehnya, walau setiap hari atasan sumikumarah, tak pernah ia ingin memecat atau menggantikan pekerjaan suamikuitu dengan orang lain. Aku tak pernah tahu alasannya. Bukannya akuingin suamiku dipecat dari pekerjaannya, tapi aku merasa sangat ibamelihat dia setiap malam bergelut dengan pekerjaan yang tak pernahmemberinya waktu istirahat walau hanya semalam saja. “Tak ada yang bisamengerjakan ini semua, selain aku”, katanya dengan muka yang tenangwaktu aku bertanya tentang apakah tak ada orang lain yang bisamengerjakan pekerjaannya atau sekedar membaginya dengan orang lain.Sebenarnya pekerjaan yang dimiliki suamiku adalah pekerjaan yangmengasyikan bagi semua orang. Pekerjaan yang menggunakan pikiran secarabebas, ide-ide kreatif dan pastinya lingkungan pekerjaan yang asyikpula. Atau hanya aku saja yang menganggap pekerjaan suamiku sangatmenjemukan. Aku tak tahu! Hanya saja sejak ia mendapatkan pekerjaanitu, sepertinya waktu hanya milik pekerjaannya saja. Ia tak perduli apayang akan kukerjakan besok hari, besok hari, dengan siapa, atau akanada siapa, ia sama sekali tak perduli. Bahkan untuk hal hubungan intimsuami istri pun tak pernah ia seperti dulu yang selalu mencumbuku atausekedar bermanja-manjaan sebelumnya. Kadang aku berpikir apa ia takpernah merasa bosan dengan kehidupan yang seperti ini. Apa ia takpernah merindukan kehidupan seperti sebelum kami mendapatkan pekerjaanyang sekarang ini. “Nantikan ada waktunya” katanya dengan tenang. Takpernah ia marah dengan pekerjaan yang banyak. Tak pernah ia bosandengan pekerjaan yang menumpuk setiap harinya. Sebaliknya, aku sudahbosan dan kadang ingin marah tapi tak pernah bisa, karena suamikuseperti meredam kemarahanku dengan ketenangan yang ia perlihatkan diwajahnya. Aneh! “Ah… mungkin hanya kamu saja yang merasa bosan denganpekerjaan suamimu, karena kamu kurang mendapatkan perhatian darinya”temanku Eva berpendapat. Mungkin betul juga apa yang dikatakan Eva.Tapi apa suamiku tak pernah punya keinginan untuk pindah dari pekerjaanyang sekarang ke tempat lain, karena kupikir dengan pekerjaan yangselalu terpakai oleh atasannya, tentulah ia lebih mudah untukmendapatkan pekerjaan lain. “Sudah kau katakan itu pada suamimu?” kataEva. Tak pernah aku berani untuk mengatakan itu pada suamiku. Aku takpernah setenang dia dalam menghadapi pekerjaan yang menumpuk. Tapi diasebaliknya. Sehingga aku bertanya pada diriku sendiri, apakah suamikuakan setenang ini pada saat menghadapi pekerjaan di tempat barunyananti. “Tak usahlah kau merasa jemu dengan pekerjaan suamimu, kalausemua kebutuhanmu ia penuhi” kata Eva lagi. Memang semua kebutuhanhidupku jadi terpenuhi sejak suamiku bekerja di tempatnya sekarang. Takpernah kami kekurangan bahkan kami merasa lebih. Apalagi dengan gajikami berdua. Tapi aku tak pernah bisa menikmatinya bersama-sama. Iaberikan semua gajinya padaku, tanpa bertanya akan aku belikan apa bulanini, atau mengantar aku belanja bulanan kebutuhan kami, atau sekedarmakan bersama di luar. “Ajaklah suamimu untuk makan di luarbersama-sama” sambung Eva. Sudah sering aku memintanya. “Tapi nantisetelah aku selesaikan pekerjaan katanya. Lalu apa yang kudapatisetelah pekerjaannya selesai. Ia tertidur. Tentulah aku tak tegamembangunkannya. Lalu apabila aku ganggu dengan kemanjaanku, dengantenangnya ia berkata “Sebentar saja sayang”. Sebentarnya mungkin sampaitengah malam saat ia merasa lapar bahkan kadang sampai pagi lagi. Lalubesoknya kami mulai lagi dengan kesibukan masing-masing. Sekali lagikebersamaan terlewatkan. “Tapi tak pernah ia meninggalkanmu tidursendirian kan? Bukan aku beranggapan bahwa suamimu juga bosan denganmu”kata Eva berusaha menegaskan maksud pertanyaannya. Aku jadi sedikitkaget dengan pertanyaan Eva, tapi suamiku tak pernah meninggalkan akutidur sendiri. Bahkan saat aku bangun tengah malam untuk ke kamarmandi, ia merasakan kalau aku beranjak dari tempat tidur dan akanlangsung bangun dan bertanya mau ke mana walau ia akan langsungtertidur kembali. Tak ada yang berubah dari perhatiannya terhadapku,hanya waktu yang sulit ia bagi denganku. Itu saja. “Kalau begitu tenangsaja, jalani saja” kata Eva. Eva banyak memberi saran saat itu, mulaidari caraku berpakaian yang katanya harus berubah supaya terlihat beda,rambutku yang katanya harus berganti style, mengganti posisi perabotanrumah dan terutama mengganti suasana kamar. Katanya supaya ia lebihmerasa kerasan di rumah. Bahkan ia menganjurkan untuk menggunakansemacam obat perangsang birahi kepadaku. Saat itu aku hanya tersenyum,dan bertanya harus aku beli dimana. Lalu kami berdua tertawa lebar,karena Eva sendiri pun tak tahu harus membeli obat semacam itu. ***Berbulan-bulan bahkan sampai dua tahun lebih kehidupanku hampir tidakberubah. Hingga aku makin merasa jemu dengan keadaan yang sepertidiulang-ulang setiap harinya. Suamiku tetap tenang dengan keadaanseperti itu. Hingga aku ingat dengan kata-kata temanku Eva pada saatterakhir kami bertemu, karena empat bulan setelah pertemuan kami,suaminya dipindah tugaskan ke daerah. Bukannya semenjak dua tahunkebelakang ini aku tak mau mengikuti saran dari Eva, tapi aku terlalubanyak mempertimbangkan apakah nantinya akan ada perubahan padakehidupannku. Setelah menimbang-nimbang akhirnya saran dari Eva akuikuti sedikit demi sedikit. Saat itu pula suamiku memulai dengankebiasaan barunya. Entah karena saran-saran Eva yang telah akukerjakan, kecuali perangsang birahi itu. Bukan karena tak tahu harusmembeli dimana, tapi karena aku takut menggunakan obat-obatan semacamitu. Apalagi dengan berita-berita yang katanya setelah menggunakanobat-obatan itu ada yang kehilangan nyawa. Entah karena terlalubernafsu saat melakukannya sampai kehabisan nafas atau entah karena sipengguna terlalu berlebihan menggunakannya. Aku sendiri kurang paham.Entah karena suasana rumah yang berubah atau karena suamiku mulaimerasa bosan dengan pekerjaannya, atau memang sedang tak ada pekerjaan.Suamiku jadi lebih sering dari biasanya meluangkan waktu untukku.Bahkan ia mau mengantarku untuk membeli kebutuhan bulanan kami. Takperlu aku tanyakan ada apa. Yang penting sekarang bolong-bolongkebersamaan itu mulai terisi kembali.Pernah suatu saat suamiku bertanya, “Kalau aku berhenti dari pekerjaanini, pekerjaan apa yang kamu harapkan supaya kita bisa lebih banyakbersama-sama”. Tentu saja saat itu aku merasa kaget dan senang, karenaternyata suamiku tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Bahwa diatak pernah perduli dengan keinginanku menyisakan waktu untuk bersama.Walau hanya sebentar saja. Lalu kataku, mungkin pekerjaan yang takbanyak menyita waktu hanya pekerjaan sepertiku, karena pekerjaankuhanya menyesuaikan dengan jadwal dan menyesuaikan dengan hari-hariaktif belajar saja. Pada saat siswa libur, tentulah guru ikut liburkarena tak ada yang diajar. Suamiku hanya mangut-mangut dengan wajahtenangnya saat itu.Kami berdua memang lulusan sebuah perguruan tinggi fakultas keguruan.Yang memang harusnya menjadi guru seperti aku saat ini. Tapi suamikulebih memilih bekerja di sebuah konsultan jasa, yang katanya lebihmenjanjikan penghasilannya dan yang lebih utama karena hobi yang takbisa ia potong dan buang begitu saja. Dan terbukti, penghasilannyalebih terlihat nyata. Pernah satu kali aku bertanya kenapa ia tak maujadi guru sepertiku. Katanya menjadi guru itu nanti setelah kebutuhanrumah tangga kita terpenuhi. Lalu kataku “Apakah dengan menjadi gurukebutuhan kita tak akan terpenuhi?” Akan terpenuhi tapi dalam waktuyang tak sebentar. Mungkin lebih dari sewindu. Jawabnya. Sejak kamimenikah, suamiku punya keinginan untuk cepat kaya. “Bagaimana caranyasupaya kebutuhan kita terpenuhi terutama kebutuhan istriku tersayang”rayunya setelah siang tadi kami menikah. Aku tahu betul keinginansuamiku, dia ingin bekerja di kantoran yang selalu berhadapan dengankomputer. Dia lebih memilih berhadapan dengan benda mati daripadaberhadapan dengan siswa. Lalu datanglah pekerjaan yang menjanjikanpadanya penghasilan yang lumayan lebih dari perkiraan kami saat itu.Kantor tempatnya bekerja memberi gaji dan bonus-bonus karena idekreatif suamiku selalu membuat proyek-proyek berhasil. Berubahlahkeadaan kami hanya pada enam bulan gaji suamiku. Seterusnya berubahpulalah kebersamaan kami.Tak pernah aku berpikir kalau dia akan berubah pikiran menjadi guru.Atau mempengaruhinya untuk menjadi guru. Atau mengajaknya menjadi gurudi sekolah tempat aku mengajar, atau di sekolah lain yang membutuhkantenaga pengajar. Karena dia selalu terlihat asyik dengan pekerjaan yangselalu menumpuk setiap harinya. Sampai berubahlah semua. Mungkin karenasuamiku sudah merasa cukup dengan keadaan sekarang ini, sehingga diatak perlu lagi berusaha keras untuk mengumpulkan ide-ide kreatifnyauntuk dijual. Sejak saat itu suamiku mulai kelihatan santai dan tidakkekeh mengerjakan setumpuk pekerjaannya. Ia biarkan pekerjaannyamenumpuk bahkan kadang tak disentuhnya. Pernah suatu saat seorang darikantornya menelpon dengan nada kecewa dan kadang ada yang marah. Tapidengan santai suamiku menjawab kalau dia sedang tak enak badan atau diabilang kalau dia ketiduran tadi malam. Padahal tadi malam aku dansuamiku hanya nonton film-film di cd yang kubeli dan biasanya akutonton sendiri. “Bapak ada, Bu?” suara laki-laki ditelpon. Suamikulangsung berisyarat tanpa suara “sudah berangkat ke kantor” katanya.Dengan gagap aku menjawab telpon itu. Setelah mengucapkan terimakasihlaki-laki itu menutup telpon. Akhir-akhir ini suamiku seperti dengansengaja datang terlambat bahkan kadang tak datang ke kantornya. Pernahsuatu hari aku telpon ke kantornya untuk mengabarkan kalau orang tuanyaada di rumah. “Bapak sudah jarang masuk sejak dua minggu lebih ini, Bu.Dengan siapa saya bicara?” tanyanya. Aku katakan kalau aku istrinya.Dengan segera dan sedikit kaku orang itu menjawab kembali “mungkinbapak sedang ada tugas lapangan” katanya seperti takut kalau dia salahbicara.Pertanyaan demi pertanyaan seperti tak sengaja tersusun dalampikiranku. Kemanakah suamiku, dimana dia sekarang. Sedang apa saat ini.Dengan siapa. Masih banyak pertanyaan di otakku. Tapi aku tak maumemperlihatkan wajah kecewaku dihadapan mertuaku. Kecewa karena suamikutak terbuka kepadaku. Apa yang sedang dilakukannya selama dua mingguini. Pertanyaan selalu muncul. Sampai akhirnya mertuaku pulang setelahterlalu lama menunggu anaknya. Aku bilang pada mereka kalau anaknyasedang ada tugas lapangan. Jadi terkadang waktu pulangnya tak tentu.Mereka percaya. Pertanyaan muncul lagi. Bahkan pertanyaan yang selamaini aku jauhkan dari pikiranku. Apakah suamiku menemukan hal yang lebihdi luar sana. Hal apa saja yang mungkin lebih menyenangkan dia.Permainan yang menghabiskan uang. Mungkin, minuman yang memabukkan yangkatanya menenangkan pikiran, bahkan aku berpikiran kalau suamiku sedangbersama … ah…aku tak mau memikirkan yang sejelek itu. Aku ingat-ingatkembali, apakah selama dua minggu ini ada yang berubah darinya. Takada. Sikapnya seperti biasa. Bahkan lebih dari biasanya. Suamiku takpernah terlihat mabuk atau habis mabuk kalau datang ke rumah. Lalu akuteringat kembali kata-kata Eva “Laki-laki lebih pintar menyimpanrahasia” Apakah karena sikapnya yang lebih dari biasanya untuk menutupihal itu. Tapi aku tak pernah berpikiran seperti itu terhadap suamiku.Aku percaya. Sejak sebelum menikah, kami berdua sudah sepakat tak akanmenutupi hal apapun. Bahkan ketika suamiku ingin kawin lagi. Menjelangmagrib suamiku tiba di rumah. Tak ada yang terlihat aneh pada dirinya.Dia terlihat seperti biasa bila datang di rumah. Istirahat sebentar,lalu mandi. Setelah sembahyang, kami biasa makan bersama. Tak ada dalamwajahnya tanda-tanda kalau dia sudah melakukan sesuatu yang ganjil dantakut kuketahui.“Bapak dan Ibu tadi ingin bertemu denganmu, aku menelpon ke kantormu”aku pancing dia supaya bicara atau sekedar kaget setelah mendengar akumenelponnya ke kantor. Atau terus memberitahuku tentang apa yangdilakukannya selama dua minggu ini. Tapi sekali lagi aku tak melihatkekagetannya. Aku semakin bertanya-tanya. Aku semakin yakin denganperkataan Eva kalau laki-laki pandai menyimpan rahasia. Tapi rahasiaapa? Entahlah!Sebelum tidur kami menonton acara televisi walau setiap stasiuntelevisi menyajikan acara yang hampir sama, hanya beda judul. Takpernah aku berpikir bertanya padanya selama dua minggu ini, apa yangdilakukannya. Karena suamiku seperti tenang-tenang saja. Apa karena diamerasa orang di kantornya tidak akan mengatakan apa-apa. Di tempattidur kami membicarakan orang tuanya sebentar. Setelah itu diamenarikku ke dalam pelukannya. Dia kecup keningku. Lalu dia mulaibicara. “Aku mulai mengajar minggu depan”. Aku kaget. Tapi dia seolahmenjawab semua keherananku dengan senyum. Dia menceritakan kalau selamadua minggu ke belakang ini melamar ke sebuah sekolah. Sekolah itumembutuhkan seorang guru bahasa Indonesia yang bisa menulis atauminimal tulisan-tulisannya pernah dimuat di surat kabar. Katanya selamadua minggu ini, dia mengikuti beberapa tes yang diadakan sekolah.Sementara dia terus bercerita, aku membayangkan banyaknya waktu yangbisa kami habiskan bersama seperti dulu. Bukannya aku senang dia keluardari tempatnya bekerja. Aku juga tahu mungkin gaji suamiku darimengajar tidak sebanyak yang dulu. Tapi kebersamaan tak bisa dibayardengan uang sebanyak apa pun. Dia mencium keningku lagi. Memelukku. Dankami pun tidur berpelukan. Dan tentunya pagi nanti dia bangun denganwaktu yang panjang untukku. Pandeglang – Pakupatan, November 2007 – 21April 2008* Lahir di Serang, 7 Februari 1979, setamat kuliah di JurdiksatrasiaFKIP Untirta, ia bekerja di SMA Islam Al – Azhar 6 Serang. Kini tinggaldi Kabayan Kompleks ST RT/RW 02/02 Pandeglang Banten. Tulisanya dimuatdi koran, Tabloid, dan jurnal di Banten.

0 komentar:

Posting Komentar